Senin, 24 Agustus 2015

Wanita, Jangan Letakkan Harga Dirimu Pada Mahar



Tertarik membahas judul ini setelah semalam ngobrol ngalur ngidul dengan seorang sahabat. Dia cerita, di daerahnya sekarang sedang ngetren “mahar berdasarkan tingginya pendidikan atau strata keluarganya”. Mungkin sudah sejak lama cerita-cerita ini beredar, hanya saya saja yang ga gaul, hehe..

Bagi saya pribadi tren ini mencengangkan sekaligus menggelikan, bagaimana mungkin seorang wanita diberi harga sesuai dengan tingkat pendidikannya atau seperti cerita teman saya itu, ada orang tua yang mengatakan “kami sudah menyekolahkan anak kami setinggi ini, jadi wajar kalo maharnya tinggi juga”. Lha, kenapa pula calon suaminya yang tidak tahu menahu ini dijadikan ‘tumbal’? bukankah memang kewajiban orang tua untuk mendidik anak-anaknya?. Lagi pula mereka yang hendak menikah ini akan mengarungi perjalanan panjang, dari pada ‘dihamburkan’ di awal bukankah lebih baik dijadikan bekal di kemudian hari?. Teman saya ini bilang, “padahal mungkin nanti Allah akan bukakan pintu rejeki mereka, sehingga sang suami malah bisa memberi lebih dari yang diminta saat ini.” yups..setuju banget, rezeki setiap manusia sudah diatur oleh Allah.

Mengenai hal ini, Rasulullah sendiri telah mengingatkan para wali agar,“Jangan mempersulit wanita-wanita yang dalam perwalianmu dengan mahar yang tinggi. Mudahkanlah, niscaya akan kamu dapati barakahnya. karena dengan meringankan mahar dan memberi jalan mudah untuk pernikahannya akan memperindah akhlak wanita itu. Namun sebaliknya, adalah keburukan jika kamu memberatkan maharnya wanita tersebut dan menyukarkan pernikahannya, karena dapat menyebabkan akhlaknya menjadi buruk.”

Tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk membentengi manusia dari perbuatan buruk, memelihara pemuda dari kerusakan serta melindungi masyarakat dari kekacauan. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi), menegakkan syari’at Islam dalam rumah tangganya agar terbentuk generasi yang bertaqwa kepada Allah SWT. Selain itu juga memperoleh keberkahan hidup. Semua tujuan tersebut dapat diperoleh jika sejak awal kita mengikuti anjuran Allah dan Rasulnya.

Rasulullah bersabda, “Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya”. (Hadits Riwayat Ahmad, Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim dari shahabat Abu Hurairah RA).

Kembali ke permasalahan mahar, ada baiknya kita tinjau kembali masalah ini sesuai dengan tuntunan Rasul dan teladan para sahabat. Pada masa Rasul ada beberapa kisah yang menggambarkan kesederhanaan mahar, satu dirham atau sebuah cincin besi kalau memang tidak memungkinkan untuk memberi yang lebih, sudah cukup untuk menjadi maskahwin yang layak bagi sebuah pernikahan, atau baju besi seperti saat Ali bin Abi Thalib menikahi Fathimah binti Rasulillah, atau Ummu Sulaim yang mengatakan,“Islammu, itulah maharku”, saat akan dinikahi oleh Abu Thalhah. Hadits-hadits yang meriwayatkan kisah-kisah ini diwarnai dengan keridhaan dari para wanita agung itu sendiri.

Saya tidak mengatakan bahwa semua wanita harus hanya menerima terompah seperti seorang wanita fuzarah atau segenggam tepung sebagai maharnya. Tapi sebaiknya kita mengingat kembali pesan Rasulullah bahwa “Seorang wanita yang penuh barakah dan mendapat anugerah Allah, adalah yang maharnya mudah dan akhlaknya baik. Namun sebaliknya, wanita yang celaka adalah yang sulit maharnya dan buruk akhlaknya.” Kita akan melihat bahwa ‘mahar yang kecil’, ‘mahar yang berlebihan’, dan ‘mahar yang mudah’ tidaklah sama. Perbedaannya adalah pada kemampuan, keridhaan kedua pihak dan juga barakah yang diperoleh setelahnya.

Di hari-hari menjelang wafatnya, Rasulullah mengingatkan,”Barangsiapa menikahi seorang perempuan dengan harta yang halal, tetapi menginginkan kemegahan dan kesombongan, Allah tidak akan memberinya bekal kecuali kehinaan dan kerendahan. Sesuai dengan kadar kesenangannya, Allah akan menyuruhnya berdiri di tepian jahannam dan kemudian jatuh ke dalamnya sejauh tujuh puluh kharif (ukuran panjang).”

Tuntunan Islam tentang mahar ini sangat menentramkan. Jika ada kisah wanita Fuzarah yang ridha menikah dengan mahar berupa sepasang terompah (HR Abu Daud dan Tirmidzi), ada pula kisah tentang ’Abdurrahman bin ‘Auf yang memberi mahar satu nawat emas ketika menikah. Satu nawat, kata Shaleh bin Ghanim As-Sadlan, bagi penduduk Madinah adalah seperempat dinar. Rasulullah sendiri memberi mahar kepada setiap istri beliau sebesar 500 dirham (HR Muslim, Abu Daud dan An-Nasa’i), kecuali Ummu Habibah yang mendapat mahar lebih karena Raja Najasy yang membayarkan maharnya, bukan Rasulullah (HR Abu Daud, An-Nasa’i dan Ahmad).

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, mengatakan:
“Hadis-hadis itu mengandung ajaran bahwa mahar tidak ditetapkan batas minimumnya, segenggam gandum, sebuah cincin besi, dan sepasang terompah pun dapat dijadikan sebagai mahar dan sah pernikahannya. Sebaliknya berlebihan dalam mahar makruh hukumnya dalam pernikahan dan mengurangi barakah perkawinan.”

Memberatkan mahar dapat membuat pernikahan menjadi kehilangan barakahnya, Ikatan mereka bukan lagi al-’athifah (jalinan perasaan), melainkan serangkaian kewajiban untuk memenuhi tanggung jawab hukum dan sosial. ‘Abdul Hamid Kisyik, seorang ulama Mesir, berkata, “Jika mahar dibuat mahal, akhirnya menyebabkan kerusakan dan keresahan di muka bumi. Hal ini tidak lagi maslahat untuk ummat. Karena itu, wanita yang paling sedikit maharnya justru memiliki keagungan dan akan mendapat kebarakahan yang amat besar.”

Sebaliknya, berlebih-lebihan dalam mahar dikhawatirkan membawa madharat karena akan menjadi tradisi. Tindakan ini kemudian membentuk persepsi umum tentang status sosial, stratifikasi sosial, pola interaksi, serta prasangka social, sementara para pemudanya menjadi takut menikah. Sayyidina ‘Ali mengingatkan,“Jangan berlebih-lebihan dengan mahar wanita, sebab hal itu akan menyebabkan permusuhan.”

Rasulullah sendiri melarang pihak laki-laki berlebih-lebihan dalam mahar apalagi diluar kemampuannya. Baik mahar Rasulullah s.a.w. maupun ‘Abdurrahman bin ‘Auf, nilainya mencapai 500 dirham. Jumlah ini tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil menurut ketentuan masyarakat yang berlaku saat itu dan pastinya sesuai dengan kemampuan. Abdurrahman bin Auf sendiri masa itu adalah seorang pedagang besar.

Suatu hari seorang laki-laki datang kepada Rasul memberikan bahwa dia telah menikah dengan seorang wanita Anshar dan mahar yang diberikan adalah 4 Uqiyah. (Syaikh Mansur Ali Nashif mengatakan bahwa 1 uqiyah sama dengan 40 dirham). Rasul kemudian berkata, “Empat uqiyah? Seolah kamu mengukir perak pada permukaan gunung ini…” (HR Muslim). Imam An-Nawawi menjelaskan makna hadits tersebut dalam Syarah Sahih Muslim, bahwa,“Ungkapan ini memberi makna makruh memberi mahar melebihi kemampuan yang dimiliki suami pada saat pernikahan.”

Jadi, sebaik-baik mahar adalah ‘yang dimudahkan’, yaitu yang diberikan dan diterima dengan kerelaan kedua belah pihak. Artinya sesuai dengan kemampuan suami dan keridhaan istri terutama ketika mahar yang diberikan jauh lebih kecil daripada kebiasaan yang berlaku jika suami tidak mampu. Serta tidak dianjurkan pula berlebih-lebihan dalam memberikan mahar apalagi diluar kemampuan pihak laki-laki. Kalaupun pihak laki-laki tersebut mampu memberikan melebihi mahar yang berlaku dalam masyarakat, ada baiknya menahan diri. Kelak, ia bisa memberikannya sebagai hadiah kepada istrinya. Ini akan menambah kasih sayang di antara keduanya.

Ketika pernikahan berlangsung melalui proses yang sederhana dengan mahar yang ringan, insyaallah akan tumbuh kasih sayang dan penerimaan dalam hati suami. Sedangkan pada istri akan timbul keridhaan dan kesetiaan. Pada mahar yang ringan, ada kekayaan jiwa yang menenteramkan. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kaya akan jiwa.” (Muttafaqun ’alaihi), ada kepercayaan tentang ketulusan cinta dan kesediaan istri untuk berjuang bersama-sama. Seperti ketika Ummu Sulaim mengatakan tidak meminta apa-apa kecuali keislaman Abu Thalhah, yang terkesan bukanlah keinginan calon istri untuk kepentingan dirinya sendiri. Tapi lebih besar dari itu yaitu misi keselamatan bagi keduanya di dunia dan akhirat.

Karena itu wanita, jangan letakkan harga dirimu pada mahar, mudahkanlah agar menjadi sebaik-baik wanita. Mahar adalah hadiah. Sedangkan hadiah dapat menumbuhkan dan menguatkan perasaan sayang dan cinta-kasih. Rasulullah mengatakan,“Berikanlah hadiah, itu akan menumbuhkan dan memperkuat rasa cinta.” Yakinlah, apapun anjuran Allah dan Rasul pastilah membawa kebaikan. Saat taat melewati batas perasaan suka dan tidak suka, allah akan bukakan jalan keluar dari masalah yang di luar kuasa kita. Saat ridha dan barakahNya hadir, akan mempermudah datangnya pertolongan Allah di saat kita merasa sulit.

Seperti yang dikatakan Salim A. Fillah (Jalan Cinta Para Pejuang), “Barakah akan memberi nuansa lain, akan mendewasakan ketika menghadapi tantangan-tantangan baru, membawa kebahagiaan di hati, kelapangan di dada, dan kejernihan di akal. Memberi ketenangan ketika menghadapi badai, membawa senyuman meski air mata menitik-nitik, menyergap rindu di tengah kejengkelan, menyediakan rengkuhan dan belaian lembut saat dada sesak oleh masalah.” Wallahu ‘Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar