Kamis, 10 September 2015

Hukum Gambar Makhluk Bernyawa Hasil Fotografi




Syaikh Muhammad bin Hadi Al Madkhali pernah ditanya tentang hukum gambar-gambar makhluk bernyawa hasil fotografi. Beliau hafizhahullah menjawab,

“Ucapan saya tentang hal ini sudah ma’ruf. Ucapan-ucapan para ulama pun [juga sudah] ma’ruf. Tidak boleh, kecuali jika ada sesuatu yang darurat. Ketika keadaan darurat menuntutnya, seperti untuk surat izin, kartu identitas, paspor, segala hal yang bersifat legalitas atau kepemerintahan terkait dengan pekerjaan-pekerjaan yang ada, sedangkan keseharianmu tidak bisa lepas dari semua itu, maka hal-hal tersebut tidak mengapa. Sebab yang namanya keadaan-keadaan darurat dapat membuat apa-apa yang dilarang diberi uzur untuk melakukannya. Dasarnya adalah firman Allah jalla wa ‘ala,

وَمَا لَكُمْ أَلاَّ تَأْكُلُواْ مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

“Mengapa kalian tidak memakan [hewan-hewan halal] yang disebutkan nama Allah ketika menyembelihnya? Padahal, sesungguhnya Allah telah memperinci kepada kalian apa yang diharamkan kepada kalian, kecuali apa-apa yang kalian terpaksa kepadanya.” (QS. Al An’am: 119)

Jika memang ada sesuatu yang darurat, maka tidak mengapa. Jika tidak, maka tidak boleh.

Rujukan: Transkrip tanya-jawab dengan Syaikh Muhammad bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah ketika memberikan muhadharah di Jami’ Al-Hukair, Provinsi Abu ‘Arisy, Jazan, pada hari kamis, 25 sya’ban 1434 H.

MENULISKAN LAFAZ “ALLAH” DAN “MUHAMMAD” DI DINDING-DINDING



Syaikh Ibnu Al Utsaimin rahimahullahu ta’ala pernah ditanya, “Banyak kita lihat di atas dinding-dinding tulisan lafzhul jalalah (Allah) dan di sampingnya lafaz Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kita temukan yang seperti itu di atas lembaran-lembaran, kitab-kitab, atau di sebagian mushaf. Apakah penempatan yang seperti itu benar?”. Beliau pun menjawab:

Penempatan seperti itu tidak benar. Sebab, itu menjadikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tandingan yang setara dengan Allah. Jika seseorang melihat tulisan yang seperti itu, sedangkan ia tidak mengetahui kedua penamaan itu, niscaya ia akan meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa keduanya setara dan semisal. Karena itu, wajib menghilangkan nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan tersisa, yang perlu kita cermati penulisan lafaz Allah. Sebab itu adalah kata yang diucapkan oleh orang-orang Sufi. Mereka menjadikannya sebagai pengganti zikir. Mereka ucapkan, “Allah, Allah, Allah.” Karena inilah, maka dihilangkan juga, sehingga jangan menulis “Allah” dan “Muhammad” di atas dinding-dinding, lembaran-lembaran, dan sebagainya.

DOA-DOA YANG DIBACA KETIKA HIDUP TERASA SEMPIT




عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ عِنْدَ الْكَرْبِ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ الْعَظِيمُ الْحَلِيمُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ، وَرَبُّ الأَرْضِ، وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika merasa sempit berdoa,

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ الْعَظِيمُ الْحَلِيمُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ، وَرَبُّ الأَرْضِ، وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ

‘Tiada sembahan yang berhak disembah, kecuali Allah, yang maha agung, yang maha lembut. Tiada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah, Rabb ‘arsy yang agung. Tiada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah, Rabb langit dan Rabb bumi serta Rabb ‘arsy yang mulia’.” [HR. Al Bukhari nomor 6346 dan Muslim nomor 2703]







عَنْ أَسْمَاء بْنَتِ عُمَيسٍ قَالَتْ : قَالَ لِي رَسُولُ الله – صلَّى الله عليه وسلم -: ” أَلَا أُعَلِّمُكِ كَلِمَاتٍ تَقُوْليِنَهُنَّ عِنْدَ الكَربِ – أَوْ فِي الكَربِ – اللهُ اللهُ رَبِّي لَا أُشْرِكُ بِهِ شَيْئاً

Dari Asma’ bintu Umais radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadaku, ‘Maukah kuajarkan kata-kata yang engkau ucapkan ketika merasa sempit atau dalam kesempitan?

اللهُ اللهُ رَبِّي لَا أُشْرِكُ بِهِ شَيْئاً

Allah, Allah, Rabb-ku. Tidak akan kusekutukan Dia dengan apapun’.” [HR. Abu Dawud nomor 1525 dan Ibnu Majah nomor 3882, disahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib hadits nomor 1824]






عن أبي بكرة أنّ رسولُ الله صلى الله عليه وسلم قال : ” دعواتُ المكروبِ: اللهُمَّ رحْمتَك أرجُو، فلا تكلْنِي إلى نَفْسي طرْفَةَ عَينٍ، وأصلحْ لي شأني كُلَّهُ، لا إلهَ إلا أنتَ .

Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Doa-doa bagi yang diberi musibah berupa kesempitan:

اللَّهُمَّ رَحْمتَكَ أَرْجُو، فَلاَ تَكِلْنِي إِلىَ نَفْسِي طَرْفَةَ عَينٍ، وَأَصْلِحْ لِي شَأنِي كُلَّهُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

Ya, Allah, rahmatMu kuharapkan. Maka, jangan Engkau tinggalkan diriku sekejap mata pun. dan perbaikilah semua urusanku. Tiada sembahan yang hak kecuali Engkau’.” [HR. Abu Dawud nomor 5090 dan disahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ hadits nomor 3388]








عَنْ سَعْدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” دَعْوَةُ ذِي النُّونِ إِذْ دَعَا وَهُوَ فِي بَطْنِ الحُوتِ: لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ، فَإِنَّهُ لَمْ يَدْعُ بِهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ فِي شَيْءٍ قَطُّ إِلَّا اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ “.

Dari Sa’ad [bin Abi Waqqash] radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, ” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, ‘Doa Nabi Yunus ‘alaihis salam ketika berdoa dan beliau ada di dalam perut ikan paus:



لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

Tiada sembahan yang berhak disembah, kecuali Engkau. Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk dari orang-orang yang zalim.

Sesungguhnya, tidak ada seorang muslim yang berdoa dengannya terkait satu apa pun, kecuali Allah akan mengabulkan doanya’.” [HR. At Tirmidzi nomor 3505 dan disahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ hadits nomor 3383]

MERAIH KECINTAAN ALLAH



Orang-orang yang meyakini adanya hari kebangkitan pasti mengharapkan turunnya kecintaan Allah subhanahu wa ta’ala kepada mereka. Sebab, pada saat itu, kengerian yang terjadi merata di mana-mana.



Hal-hal yang berharga di sisi manusia tak lagi dipedulikan. Mereka lupa akan saudaranya, ibunya, ayahnya, istrinya, anak-anaknya.



Yang mereka pikirkan hanya keselamatan dirinya. Sampai-sampai ucapan para nabi ketika itu hanyalah, “Ya Allah, selamatkan, selamatkan”, sedangkan orang-orang yang Allah cintai tidak merasakan takut dan tidak bersedih hati ketika itu.



Semua manusia berpeluang untuk mendapatkan kecintaan Allah subhanahu wa ta’ala, sekalipun orang kafir. Ya! Selama orang kafir tersebut masih hidup, kemudian mengganti kekufurannya dengan tauhid dan mengganti amalan-amalan dosanya dengan ketaatan. Jadi, kecintaan Allah subhanahu wa ta’ala dapat diraih dengan usaha dari seorang hamba.



Kecintaan Allah subhanahu wa ta’ala akan turun kepada hambaNya dengan syarat tertentu. Syarat tersebut hanya sedikit di antara hamba-hambaNya yang dapat memenuhinya. Di antara hal-hal yang menjadi sebab turunnya kecintaan Allah subhanahu wa ta’ala adalah:



Pertama, meraih kecintaan Allah dengan takwa, kaya hati, dan tersembunyi. Seorang hamba yang memiliki ketiga karakter tersebut, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mencintainya. Disebutkan dalam Shahih Muslim No. 2965 bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, kaya, dan tersembunyi.”



Takwa adalah mengamalkan segala perintah Allah di atas cahayaNya dengan niat mengharap wajahNya dan menjauhi segala larangan Allah di atas cahayaNya dengan alasan takut terhadap azabNya. Karena itu, orang yang hendak mencapai derajat takwa hendaklah bersemangat menjalankan ketaatan dan menjauhi larangan, bersemangat untuk mengetahui cahaya Allah berupa ilmu syar’i yang bersumber dari Al Qur’an dan hadits serta bersemangat untuk memperbaiki niat ketika beramal. Andaikan ketakwaan tersebut sudah dicapai oleh seorang hamba, maka Allah akan mencintainya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,



ۚإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ

“Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertakwa.” (QS. At Taubah: 4)



Sikap takwa itu dikerjakan di mana pun seseorang berada. Tidak hanya dilakukan di tempat-tempat yang di sana orang-orang melihatnya, tetapi juga di tempat-tempat yang tidak terlihat oleh seorang pun, karena Allah senantiasa melihat hamba-hambaNya di mana pun mereka berada. Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,



“Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada dan iringilah amalan jelek dengan amalan baik, sehingga itu akan menghapuskannya.” (HR. At Tirmidzi, dihasankan Al Albani dalam Al Misykat No. 5083)



Dalam hadits riwayat Muslim di atas, kaya yang dimaksud adalah kaya hati bukan kaya dari sisi harta benda. Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,



“Bukanlah kaya itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kaya itu adalah kaya hati.” (HR. Bukhari No. 6446)



Kaya hati adalah sikap merasa cukup yang dimiliki seseorang dengan apa yang Allah berikan dari rezeki dan tidak bersikap tamak, sehingga ia bersikap zuhud (sedikitnya keinginan) terhadap dunia. Hal ini pun dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam yang lain, beliau bersabda,



“Zuhudlah terhadap dunia, maka Allah akan mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia, maka manusia akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah No. 4102)



Tersembunyi maksudnya adalah menyembunyikan amalannya. Seorang hamba melakukan amalan-amalan saleh, mengerjakan berbagai kebaikan tanpa ditampakkan kepada manusia. Dia tidak suka terhadap pujian dan sanjungan manusia. Dia tidak suka dilihat manusia ketika beramal. Yang dia inginkan hanya balasan dari Allah. Hal ini lebih memudahkan seseorang untuk ikhlas dalam beramal dibanding ketika beramal dalam keadaan terlihat oleh manusia.



Kedua, meraih kecintaan Allah dengan menunaikan amalan-amalan sunnah setelah mengerjakan amalan-amalan yang wajib.

Pada hadits ke-38 di kitab Al Arba’un An Nawawiyah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,



“Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Siapa saja yang memusuhi waliKu maka Aku umumkan perang terhadapnya. Dan tidaklah hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada amalan-amalan yang wajib. Dan terus menerus hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku mencintainya’.” (HR. Bukhari No. 6502)



Ketiga, meraih kecintaan Allah dengan saling mencintai sesama muslim karenaNya, saling mengunjungi karenaNya, dan saling menderma karenaNya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,



“Allah berfirman, ‘Wajib kecintaanku turun bagi orang-orang yang saling mencintai karenaKu, bagi mereka yang duduk-duduk karenaKu, bagi mereka yang saling mengunjungi karenaKu, dan bagi mereka yang saling menderma karenaKu’.” (HR. Malik, Ahmad, Al Baihaqi, disahihkan Al Albani dalam At Targhib wat Tarhib)



Keempat amalan tersebut dilakukan dengan didasari maksud karena Allah subhanahu wa ta’ala bukan karena keuntungan pribadi, atau tujuan-tujuan duniawi lainnya.



Dalam Shahih Muslim disebutkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ada seseorang yang akan mengunjungi temannya di daerah lain. Kemudian Allah mengutus seorang malaikat dengan wujud lain yang menghampirinya dalam perjalanan.



Malaikat tersebut berkata, “Ke mana kau hendak pergi?”



Dia menjawab, “Aku hendak menemui temanku di daerah ini.”



Malaikat berkata, “Apakah engkau hendak mengambil suatu manfaat darinya?”



Dia berkata, “Tidak, aku mengunjunginya karena aku mencintainya karena Allah.”



Malaikat berkata, “Aku adalah utusan Allah (malaikat). Sesungguhnya Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai temanmu tersebut karenaNya.” (HR. Muslim No. 4656, 6714)



Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hambaNya yang pantas untuk dicintaiNya. Allahumma Amin.

Haji dan Umrah Bisa Menghilangkan Kemiskinan





Muncul sebuah pemikiran yang salah bahwa ibadah haji dan umrah hanya membuang-buang uang saja dan termasuk pemborosan. Tentu ini pemikiran yang salah besar. Dengan beberapa alasan berikut:
1. Ibadah haji dan umrah hanya diwajibkan bagi mereka yang mampu saja

Tentu bukan pemborosan dan pemaksaan jika diwajibkan bagi yang mampu saja. Mampu dalam artian mampu dari segi harta dan fisik. Jika tidak mampu maka tidak diwajibkan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran: 97).
2. Ibadah Haji dan Umrah adalah perintah dari Allah, Rabb semesta Alam

Yang namanya perintah dari Allah tentu harus dilaksanakan. Karena kita seorang hamba yang harus patuh terhadap Rabb-nya. Perlu diketahui juga bahwa semua perintah dalam syariat adalah untuk kebaikan dan kemashlahatan manusia.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam risalahnya,

الدين مبني على المصالح في جلبها و الدرء للقبائح

“Agama dibangun atas dasar yaitu mewujudkan mashlahat dan menolak berbagai keburukan”

Kemudian beliau menjelaskan,

ما أمر الله بشيئ, إلا فيه من المصالح ما لا يحيط به الوصف

“Tidaklah Allah memerintahkan sesuatu kecuali padanya terdapat berbagai mashlahat yang tidak bisa diketahui secara menyeluruh”1

Terkadang manusia hanya menghitung dengan logikanya saja dan terlalu berhitung secara matematika, padahal Allah lebih mengetahui apa yang terbaik baik hamba-Nya.

Allah berfirman,

أَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ

“Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah” (QS. al-Baqarah: 140).
3. Ibadah Haji dan umrah bisa menghilangkan kemiskinan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

“Ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak. Sementara tidak ada pahala bagi haji yang mabrur kecuali surga.”2

Syaikh Abul ‘Ula Al-Mubarakfuri rahimahullah menjelaskan bahwa maksud menghilangkan kemiskinan di sini bisa bermakna dzahir atau makna batin. Beliau berkata,

أي يزيلانه وهو يحتمل الفقر الظاهر بحصول غنى اليد ، والفقر الباطن بحصول غنى القلب

“Haji dan umrah menghilangkan kefakiran, bisa bermakna kefakiran secara dzahir, dengan terwujudnya kecukupan harta. Bisa juga bermakna batin yaitu terwujudnya kekayaan dalam hati.”3

Qana’ah adalah kekayaan terbesar dalam hidup manusia, merasa bahagia dengan apa yang Allah berikan walaupun orang lain (orang kaya) menganggapnya kurang.
4. Ibadah bisa memberikan rasa ketenangan dan kebahagiaan, sangat rasional jika seseorang mengeluarkan harta untuk mencarinya

Tentu dengan beribadah dan mengingat Allah maka hati akan tenang, bahagia dan tentram. Terlebih beribadah di depan ka’bah dan kota yang diberkahi yaitu Mekkah dan Madinah.

Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram“. (Ar- Ra’d : 28).

Banyak orang yang keluar negeri untuk berwisata, mencari kebahagiaan dan refreshing. Tentu mereka menghabiskan dana yang tidak sedikit. Tentu tidak ada yang salah jika seorang muslim juga mengeluarkan biaya ke luar negeri (Saudi) untuk mencari kebahagiaan dan ketenangan yang hakiki melalui ibadah.

Indahnya Sistem Perekonomian Islam

uang
Jadi orang miskin sering kali bukanlah pilihan, namun keterpaksaaan alias kodrat. Betapa banyak dari orang miskin yang berjuang dengan banting tulang peras keringat sepanjang siang dan selebar malam. Namun walaupun keringat telah diperas dan tulang telah dibanting, toh tetap saja kemiskinan tetap melilit dengan erat.
Kondisi banyak dari mereka memang sangat menyedihkan, dan siapapun yang mengetahuinya pasti tersayat pilu, dan merasa iba. Namun demikian, apakah rasa iba dan pilu semata cukup untuk merubah kondisi mereka menjadi kaya raya?
Demikian pula halnya dengan ikut menangis bersama mereka atau merintih bersama mereka juga belum cukup untuk membalikkan kondisi mereka. Rasa iba sepatutnya diikuti dengan langkah nyata, sehingga derita dan beban saudara kita kaum faqir dan miskin menjadi ringan.
والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه
Dan Allah pasti menolong hamba-Nya selama hamba-Nya tersebut juga sudi untuk menolong saudaranya yang lain” (Muslim)
Karena itu dalam islam disyari’atkan berbagai syari’at yang bertujuan untuk mewujudkan sistem distribusi ulang (redistribution) harta kekayaan. Dalam sistem syariat Islam diajarkan: zakat, infak, hukum warisan, nafkah, manihah, hibah, hadiah, fai’, ghanimah, ariah, kafarat, ihyaul mawat (menghidupkan lahan tidur), hutang piutang yang bebas riba, dan lainnya.
Dengan berbagai syari’at tersebut harta kekayaan dapat berputar secara berkesinambungan dan merata di seluruh lapisan masyarakat. Sistem distribusi ulang yang diajarkan syari’at Islam menjamin terwujudnya tatanan masyarakat yang adil dan harmonis, saling menyayangi dan menyantuni, tepo seliro dan bersaudara.
مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم مثل الجسد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى
Perumpamaan kaum mukminin dalam urusan cinta, kasih sayang dan bahu membahu sesama mereka bagaikan satu tubuh, bila ada satu anggota tubuh yang sakit niscaya seluruh tubuh turut merasakan susah tidur dan demam” (Muttafaqun ‘Alaih)
Tulisan ini adalah upaya untuk menggambarkan tentang sistem perekonomian Islam yang begitu indah. Harapannya anda dapat memahami kondisi perekonomian masyarakat yang ada saat ini, yang menerapkan sistem kapitalis; yang kaya harus tetap kaya dan bahkan semakin kaya sedangkan yang miskin harus tetap miskin dan kalau bisa semakin miskin. Kondisi semacam ini adalah hasil pasti dari sistem perekonomian kapitalis, sebagaimana yang telah Allah Ta’ala perigatkan pada ayat berikut:
(مَّا أَفَاء اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاء مِنكُمْ)
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (QS. al Hasyr 7)
Dan diisyaratkan pula oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada banyak hadits, diantaranya pada hadits berikut:
أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
Sejatinya Allah telah mewajibkan atas mereka untuk membayar sedekah (zakat) yang dipungut dari orang orang kaya dan didistribusikan ulang kepada kaum fakir dari kalangan mereka sendir“. (Muttafaqun ‘alaih)
Karena itu, siapapun, dan bagaimanapun dan apapun yang terjadi selama sistem perekonomiannya adalah kapitalis, maka yang kekayaan itu hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang. Masihkah anda ragu dan mengharap agar sistem perekonomian yang ada dapat mengentaskan anda atau saudara anda dari kemiskinan? Bukankah, fakta telah membuktikan dan bahkan anda telah menjadi bagian dari korbannya?
Hanya dengan memohon dan bertawakkal kepada Allah, selanjutnya anda banting tulang dan peras keringat solusi yang tepat untuk menghadapi kondisi perekonomian yang ada. Semoga Allah Ta’ala merahmati dan melindungi kita semua sehingga selamat dari petaka keangkara-murkaan penganut kapitalis.

Minggu, 06 September 2015

WAHAI, HAMBAKU, BERDOALAH KEPADAKU






Kita buka surat yang pertama dalam Al Qur’an dari Surat Al Fatihah. Kita dapatkan doa yang paling utama secara mutlak adalah doa meminta agar kita diberikan petunjuk kepada jalan yang lurus dan agar dijauhkan dari dua jalan: jalan orang-orang yang sesat dan jalan orang-orang yang Allah subhanahu wa ta’ala benci. Akhir surat di dalam Al Qur’an, Surat An Naas, juga terdapat doa permintaan manusia agar Allah subhanahu wa ta’ala melindungi mereka dari kejelekan makhluk-makhluk yang membisikkan kejelekan pada dada-dada manusia, baik makhluk dari kalangan jin ataupun manusia.


Al Qur’an diawali dengan doa dan diakhiri dengan doa. Ini menunjukkan kedudukan doa yang tinggi di dalam Islam. Allah subhanahu wa ta’ala memuji para nabi, orang-orang shalih dari hamba-hambaNya disebabkan perhatian mereka terhadap doa, senantiasa berlindung dan mengembalikan perkara kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,


فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَباً وَرَهَباً وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Maka, Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami dengan harap dan cemas. Mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada kami.” (QS. Al Anbiya’: 90)



Dan juga di ayat lain Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,



تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفاً وَطَمَعاً وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ

“Lambung mereka jauh dari tempat tidur mereka dan mereka selalu berdoa kepada Rabb mereka dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa-apa yang kami rejekikan.” (QS. As Sajdah: 16)


Doa adalah ibadah yang harus kita murnikan untukNya. Tidak boleh bagi seorang hamba meminta pada perkara yang tidak dapat mengabulkannya, kecuali Allah subhanahu wa ta’ala, baik dari meminta rejeki, mudahnya urusan dunia, selamatnya dari azab neraka, dan yang lainnya. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan hambanya untuk berdoa hanya kepadaNya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,



وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Rabb berfirman, ‘Berdoalah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu’. Sesungguhnya, orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu akan masuk Jahannam dalam keadaan hina.” (QS. Al Mukmin: 60)


Dalam hadits, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menegaskan, dari sahabat Nu’man bin Bisyr, “Doa itu adalah ibadah.” (HR. At Tirmidzi, disahihkan oleh Syaikh Al Albani)


Bahkan dalam hadits yang lain Beliau bersabda, “Seutama-utama ibadah adalah berdo’a.” (HR. Hakim dihasankan oleh Syaikh Al Albani)


Maka, siapa saja meminta dan berdoa kepada selain Allah, ia telah melakukan penyekutuan dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Siapa saja yang dia minta tidak dibedakan, apakah yang ia minta dan berdoa itu kepada malaikat, para nabi, orang-orang shalih, atau selainnya.


Berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah ibadah yang besar. Seorang hamba akan dapat terhindar dari kejelekan, mendapatkan apa yang diinginkan dengan berdoa kepada Allah, mendapat kebaikan-kebaikan di dunia dan di akhirat.


Allah subhanahu wa ta’ala suka mendengar hamba-hambaNya meminta, mengadu, memanggil dengan nama Allah yang baik, berkeluh-kesah kepadaNya, mencurahkan segala permintaan kepadaNya. Sebaliknya, Allah subhanahu wa ta’ala marah terhadap orang-orang yang sombong, tidak pernah meminta dan berdoa kepadaNya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang tidak meminta kepada Allah, Allah marah kepadanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)


Berbeda dengan seorang hamba, jika diminta oleh sesamanya, ia akan marah. Maka, kenapa seorang hamba sombong dan enggan untuk berdoa kepada Allah, mengentengkan dalam masalah doa? Padahal, seorang hamba sangat butuh kepada Allah dan tidak dapat terlepas dari pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala, walau sekejap mata, karena kita akan senantiasa butuh kepada Allah dalam urusan dunia dan akhirat.


Berdoa adalah ibadah yang ringan. Mudah untuk hamba melakukannya. Mampu bagi hamba untuk berdoa dalam setiap keadaannya. Oleh karena itu, disyariatkan di dalam Islam untuk berdo’a ketika keluar rumahnya, naik kendaraan, berjalan, hendak makan, masuk dan keluar wc, dan keadaan lainnya dari sejak bangun tidur sampai hendak tidur kembali disyariatkan berdoa. Begitulah yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak terlepas dari doa dalam kesehariannya.


Sebab doa, bahkan, dapat dilakukan oleh seorang muslim, walau ia dalam keadaan berbaring. Tidak ada kesulitan sedikit pun untuk melakukannya. Dan siapa saja yang tidak mampu untuk berdoa kepada Allah, ialah selemah-lemah hamba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling lemah adalah orang yang tidak mampu untuk berdoa.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad dan disahihkan oleh Syaikh Al Albani)

SEMBAHLAH ALLAH DAN JAUHI THAGUT



Allah subhanahu wa ta’ala mengutus kepada setiap umat manusia seorang rasul. Dia mengutus Nabi Hud kepada kaum ‘Ad, Nabi Shalih kepada kaum Tsamud, Nabi Syu’aib kepada kaum Madyan, Nabi Musa dan Nabi Harun kepada Bani Israil. Begitu pula Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir kepada seluruh manusia hingga akhir zaman.

Setiap nabi memiliki syariat (tata cara dan aturan) yang berbeda. Akan tetapi, inti dakwah atau seruan mereka adalah satu: beribadah kepada Allah saja dan menjauhkan diri dari thagut. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thagut!” (QS. An Nahl: 36)

Lalu apa itu thagut? Berkata Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, “Thagut adalah segala sesuatu yang menyebabkan seorang hamba melampaui batasan Allah, baik berupa sesuatu yang disembah, dipanuti atau ditaati.” Agar lebih dipahami hakikat thagut, maka perlu diketahui apa saja atau siapa saja yang termasuk thagut.

Thagut jumlahnya banyak. Para pemuka thagut ada lima, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab.

Pertama, Iblis la’natullah yang menyeru manusia kepada kesyirikan (peribadahan kepada selain Allah), kesesatan, kemaksiatan, dan perpecahan. Iblis menghiasi hal-hal tersebut di mata manusia, sehingga terlihat indah. Ia menghiasi kesyirikan, sehingga manusia menganggapnya baik. Na’udzubillah. Iblis pun menjadikan ajaran tauhid terlihat buruk, sehingga kebanyakan manusia membencinya. Iblis menjadikan perbuatan berdoa kepada orang shaleh yang telah meninggal sebagai suatu kebaikan. Padahal Allah telah melarangnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَعْبُدَ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ لَمَّا جَاءَنِيَ الْبَيِّنَاتُ مِن رَّبِّي وَأُمِرْتُ أَنْ أُسْلِمَ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

“Katakanlah (wahai Rasulullah), ‘Sesungguhnya aku dilarang untuk menyembah (sembahan) yang kalian seru (berdoa kepadanya) selain Allah setelah datang kepadaku keterengan-keterangan yang jelas dari Rabbku, dan aku diperintahkan supaya tunduk patuh kepada Rabb semesta alam’.” (QS. Al Mu’min: 66)

Perbuatan berdoa kepada orang saleh yang telah meninggal tersebut telah dilakukan oleh kaum terdahulu dan sangat mungkin terjadi pada umat ini. Dahulu, para pembesar kaum Nuh yang menentang dakwahnya memerintahkan kaumnya untuk tetap berdoa kepada orang-orang saleh. Orang-orang saleh tersebut mereka jadikan sebagai perantara antara diri mereka dengan Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

“Dan mereka (para pembesar kaum) berkata, ‘Jangan sekali-kali kalian meninggalkan sesembahan-sesembahan kalian dan jangan pula sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa, Yaguts, Ya’uq, dan Nasr.” (QS. Nuh: 23)

Jadi, doa yang Allah subhanahu wa ta’ala senangi adalah doa yang tidak melalui perantara. Allah subhanahu wa ta’ala akan mendengar doa orang-orang yang langsung berdoa kepadaNya sekalipun orang tersebut memiliki banyak dosa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ

“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu.” (QS. Al Baqarah: 186)

Adapun orang yang berdoa kepada selain Allah meskipun yang ia tuju sebenarnya adalah Allah, maka Dia tidak meridhai hal tersebut dan murka kepadanya, sebagaimana larangan Allah dalam Surat Al Mu’min yang telah disebutkan.

Kedua, orang yang diibadahi dalam keadaan dirinya rela. Adapun Nabi Isa, beliau adalah seorang nabi dan rasul. Beliau bukanlah thagut meskipun disembah, karena beliau tidak rela dirinya disembah.

Ketiga, orang yang menyeru manusia untuk mengibadahi dirinya. Contohnya Fir’aun. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengutip perkataannya,

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرِي

“Dan Firaun berkata, ‘Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui bagi kalian sesembahan selain Aku’.” (QS. Al Qashas: 38)

Keempat, orang yang mengaku tahu perkara gaib, karena pengetahun terhadap perkara gaib hanya hak Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menegaskan hal tersebut,

قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ

“Katakanlah, ‘Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara gaib kecuali Allah.” (QS. An Naml: 65)

Karena itu, jika ada seorang yang mengaku mengetahui perkara gaib atau meyakini ada seseorang yang mengetahui perkara gaib, maka ia jatuh pada kufur besar, keluar dari agama Islam. Hal ini pun dikuatkan oleh sabda nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Siapa saja yang mendatangi dukun atau paranormal, atau mendatangi istrinya dalam keadan haid, atau mendatangi istrinya pada duburnya, maka is telah kufur terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad (Rasulullah).” (HR. Abu Dawud No. 3904, disahihkan Syaikh Al Albani)

Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad hafizhahullahu ta’ala,

“Jika seseorang berkeyakinan bahwa dukun mengetahui perkara gaib dan membenarkan perkataannya maka ia kafir. Wal’iyadzubillah. Sebab, ilmu gaib secara mutlak khusus bagi Allah subhanahu wa ta’ala saja. Adapun perbuatan mendatangi istri dalam keadan haid, atau mendatangi istri pada duburnya termasuk kemaksiatan yang besar. Jika seseorang menghalalkannya maka ia kafir.”

Jadi, dukun atau paranormal tidak mengetahui perkara gaib dan tidak boleh dibenarkan. Siapa saja yang tetap membenarkannya, maka ia menyelisihi hukum Islam.

Adapun dukun atau paranormal kalau pun ia benar, itu merupakan sedikit kabar langit yang dicuri oleh setan yang kemudian dicampuri dengan ratusan kedustaan. Jika seseorang mendatanginya tanpa membenarkan ucapannya, hanya coba-coba misalnya, maka shalatnya tidak diterima selama 40 hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Siapa saja mendatangi dukun atau paranormal, kemudian bertanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama 40 hari.” (HR. Muslim No. 2230)

Kelima, orang yang berhukum dengan selain hukum yang Allah tetapkan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah: 44)

Ya Allah, sesungguhnya kami memohon ampunan dan keselamatan kepadaMu dalam agama kami, dunia kami, keluarga dan harta kami. Amiin.

Sibuk dengan Fitnah Itu SAKIT!



Termasuk pengaruh negatif FITNAH adalah bahwa FITNAH menyebabkan berpalingnya seseorang dari ibadah–yang untuk ibadah itulah manusia diciptakan–dan dari ketaatan–yang seseorang itu dilahirkan untuk mewujudkannya.

Juga dapat memalingkan seseorang dari zikir kepada Allah tabaraka wa ta’ala, sehingga jadilah hidupnya, hari-harinya, waktu-waktunya tersibukkan dengan “katanya dan katanya” [qila wa qala] serta perkara-perkara yang rusuh dan FITNAH-FITNAH terus menjadi-jadi. Hatinya menjadi kacau, berubah-ubah dan tersibukkan. Ia pun tidak bisa diam, tidak bisa tenang, dan tidak bisa mewujudkan zikir kepada Allah tabaraka wa ta’ala dengan hati yang tenang, sehingga hatinya berguncang-guncang, pikirannya kacau, dan perasaannya gundah-gulana.

Karena itulah, datang di dalam hadits yang shahih dari nabi ‘alaihi ash shalatu wa as sallam bahwa beliau bersabda,

عِبَادَةٌ فِي الْحَرْجِ كَهِجْرَةِ إِلَيَّ

“Beribadah di masa al harj seperti hijrah kepadaku.” [HR. Ath Thabarani di Al Kabir [20/13] dari hadits Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu dan disahihkan oleh Al Albani di dalam Shahih Al Jami’ (no. 3974)]

Al harj adalah apa yang terjadi di tengah manusia berupa perkara-perkara yang membuat kacau dan goncang–ketika datang silih berganti kekacauan serta menyebar di tengah manusia FITNAH-FITNAH, pembunuhan, dan yang semisal itu. Siapa saja yang menjumpai masa seperti itu sibuk dengan beribadah kepada Allah tabaraka wa ta’ala, maka ia seperti orang yang berhijrah kepada nabi ‘alaihi ash shalatu wa as salam. Dan itu semua menjelaskan bahwa siapa saja yang mendapatkan al harj [tetapi] sibuk dengan ibadah, maka sesungguhnya ia telah diberi taufik, selamat dari kerusakan-kerusakan FITNAH.

KEDUDUKAN SHALAT DALAM ISLAM



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah subhanahu wa ta’ala yang diutus untuk menyampaikan syariatNya, mengajak seluruh umat manusia beribadah hanya kepada Allah semata. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam suri teladan bagi kaum muslimin seluruhnya, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,



لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. Yaitu, bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat juga banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21)



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pula yang kita jadikan contoh di dalam memperhatikan ibadah yang sangat agung: shalat. Di dalam kisah akhir wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terdapat pelajaran-pelajaran yang sangat bermanfaat berkaitan dengan shalat yang membekas pada diri kaum muslimin.


Akhir shalat yang dilaksanakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama kaum muslimin adalah shalat Zuhur di hari Kamis. Setelah itu, beberapa hari kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dapat melaksanakan shalat berjamaah bersama kaum muslimin dikarenakan semakin parahnya sakit yang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam derita.


Adalah Abu Bakar Ash Shiddiq yang menggantikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengimami kaum muslimin. Maka, pada waktu Subuh hari senin, tepatnya empat hari setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat di rumahnya, disingkap tirai kamar beliau, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat melihat para sahabat.



Itulah akhir beliau memandang para sahabat di dalam masjid. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,



“Sesungguhnya Abu Bakar mengimami para sahabat ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditimpa sakit yang parah yang dengannya beliau wafat. Maka, ketika hari Senin, para sahabat sudah berdiri bersaf-saf (untuk menegakkan shalat), beliau pun menyingkap tirai kamarnya dan melihat kepada kami, lalu berdiri seakan-akan wajah beliau bersinar terang kemudian tersenyum dan tertawa. Kami pun paham dan terpalingkan dikarenakan senang melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, Abu Bakar pun mundur ke belakang untuk masuk saf makmum. Abu Bakar menyangka bahwa Nabi akan keluar untuk shalat berjamaah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengisyaratkan kepada kami untuk menyempurnakan shalat. Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup kembali tirai dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat pada hari itu.”



Perhatikanlah oleh kita semua. Ambil pelajaran dari hadits ini.



Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, melihat kepada umatnya di masjid. Bisa dikatakan itu adalah tatapan perpisahan kepada para sahabat, ketika mereka sedang melaksanakan ibadah yang sangat agung, shalat berjamaah di masjid. Hal inilah yang membuat sejuk pandangan beliau, ketika melihat umatnya berkumpul di masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum menunjukkan kebahagiaan dan sejuknya hati beliau.



Bukan kisah di atas saja, bagaimana perhatian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap shalat di akhir hidupnya. Dalam riwayat Imam Ahmad dalam Al Musnad miliknya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,



“Adalah akhir perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Perhatikanlah shalat. Perhatikanlah shalat dan bertakwalah kalian terhadap hamba sahaya yang kalian miliki’.”



Datang pula dari sahabat Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kebanyakan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Beliau akan di jemput ajalnya berupa,



“Perhatikanlah shalat! Perhatikanlah shalat! Dan hamba sahaya yang kalian miliki.”



Keterangan-keterangan di atas menunjukkan agungnya kedudukan shalat di dalam Islam dan besarnya perhatian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadapnya.



Di antara hal yang menunjukkan pula tingginya kedudukan shalat di dalam Islam, Allah subhanahu wa ta’ala khususkan shalat di antara kewajiban-kewajiban yang lain. Diangkat Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam ke atas langit ketujuh, Allah subhanahu wa ta’ala wajibkan shalat langsung dari atas tujuh lapis langit, Nabi mendengar langsung perintah shalat dari Allah subhanahu wa ta’ala tanpa perantara yang lain (dari para malaikat).



Pada awalnya, Allah subhanahu wa ta’ala wajibkan bagi umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 50 waktu shalat. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa meminta keringanan atas usulan Nabi Musa ‘alaihis salam, sehingga menjadi lima waktu shalat. Akan tetapi, lima kali waktu shalat secara bilangan 50 lipat dalam mendapatkan pahala.



Wahai orang-orang yang merindukan shalat, lihatlah keutamaan yang didapatkan dari menegakkan shalat. Betapa besar keutamaan yang didapat bagi mereka yang benar-benar menjaga shalatnya. Dengarkanlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,


“Sesungguhnya yang pertama kali akan ditanya kepada seorang hamba (pada hari kiamat) dari amalannya adalah shalat. Maka, apabila diterima amalan shalatnya, akan diterima pula seluruh amalannya yang lain.”



Shalat merupakan rukun yang kedua di dalam Islam dan tiangnya agama. Sebagaimana seseorang akan membuat bangunan yang kuat, hendaknya dia memperkuat tiang dan pondasinya, sehingga bangunan berdiri kokoh dan indah.



Berbeda, jika seandainya dia tidak memperkuat tiang bangunannya. Dia mengabaikannya. Tidak lama bangunan indah tersebut akan runtuh dan ambruk.



Begitu pula amalan ibadah ketaatan kepada Allah, hendaknya bagi seorang muslim memperhatikan dan menjaga shalatnya sebagai tiang agama. Dengan itu, agamanya menjadi kokoh, keimanannya kuat, amalan-amalan ibadahnya di terima di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

Siapa saja yang menjaga shalat, dia telah menjaga agamanya. Begitu pula orang yang menyia-nyiakan shalat. Dia telah menyia-nyiakan agamanya.


Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata,

“Siapa saja tidak menegakkan shalat, maka tidak ada agama pada dirinya”.

Ucapan Abdullah bin Mas’ud ini semakna dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Pembeda antara Islam dan kekufuran adalah shalat. Siapa saja yang meninggalkannya, maka dia telah kafir.”



Karena itu, tidak selayaknya bagi seorang muslim untuk tidak menyepelekan perkara shalat, meninggalkannya tanpa ada alasan yang dibolehkan oleh syariat dan mempermainkan ibadah yang mulia ini. Seorang muslim adalah orang yang paling memperhatikan shalat, berusaha untuk menegakannya dengan sempurna.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa memberi kekuatan untuk terus dapat menegakkannya. Allahumma Amiin.

INILAH CIRI-CIRI KELOMPOK HADDADI (Manhaj Para Pengikut Mahmud Al Haddad)



Dalam tulisan pendek berjudul “Shifat Al Haddadiyyah”, Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullahu ta’ala menyebutkan beberapa ciri manhaj[1] para pengikut Haddadi, orang-orang yang mengikuti Abu Abdillah Mahmud Al Haddad. Mereka adalah orang-orang yang merusak dakwah salaf, dengan mengatasnamakan para salaf dan ulama salaf. Ciri-ciri yang dimaksud adalah:




Satu

Kebencian mereka kepada ulama yang ber-manhaj Salafi di zaman ini. Merendahkan mereka. Menganggap mereka bodoh dan sesat serta melempar tuduhan kepada mereka. Terlebih lagi kepada ulama-ulama Madinah. Sampai-sampai, mereka melampaui batas dengan melakukan itu pada Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Abil ‘Izz—penyusun syarh [penjelasan Aqidah] Ath Thahawiyyah. Orang-orang Haddadi menyibukkan orang-orang di sekeliling mereka untuk menjatuhkan kedudukan ulama-ulama itu dan membantah ucapan-ucapan mereka, para ulama.



Dua

Ucapan mereka dalam mem-bid’ah-kan setiap orang yang terjatuh ke dalam bid’ah. Dan Ibnu Hajar di sisi mereka lebih parah dan lebih bahaya daripada Sayyid Quthb.



Tiga

Mem-bid’ah-kan siapa saja yang tidak mem-bid’ah-kan orang yang terjatuh ke dalam bid’ah. Tidak cukup bagi mereka engkau berkata, “Pada Fulan, ada akidah Asy’ariyah.” Atau, “Ia seorang Asy’ari.” Bahkan, engkau harus mengatakan, “Ia mubtadi’.” Jika tidak, permusuhan, pengucilan, dan pem-bid’ah-an [untukmu].



Empat

Mengharamkan ucapan “rahimahullah” kepada ahlul bid’ah secara mutlak. Tidak ada beda antara Rafidhah, Qadariyah, Jahmiyah dan ulama yang terjatuh ke dalam bid’ah.



Lima

Mem-bid’ah-kan siapa saja yang mengucapkan “rahimahullah” kepada yang semisal Abu Hanifah, Asy Syaukani, Ibnul Jauzi, Ibnu Hajar, dan An Nawawi.



Enam

Permusuhan yang besar terhadap ikhwah Salafi, meskipun mereka telah mencurahkan kesungguhan dalam berdakwah kepada manhaj salaf dan membela dakwah salaf. Meskipun mereka bersungguh-sungguh dalam memberantas bid’ah-bid’ah, sikap-sikap hizbiyyah, dan berbagai kesesatan. Orang-orang Haddadi lebih memfokuskan celaan mereka kepada ulama-ulama Madinah. Kemudian, kepada Syaikh Al Albani rahimahullah, karena beliau termasuk ulama kibar yang ber-manhaj salaf. Maksudnya, beliau termasuk ulama kibar yang paling keras memerangi hizbiyyah dan ahlul bid’ah serta orang-orang yang fanatik buta.



Dan sungguh salah seorang Haddadi telah mendustakan Ibnu Utsaimin dalam majelis saya. Lebih dari sepuluh kali. Saya pun marah besar. Saya usir ia dari majelis saya. Dan mereka telah menyusun kitab tentang itu dan menyebarkan kaset rekamannya. Mereka menyebarkan slogan-slogan yang melawan para ulama tersebut dan memenuhi kitab-kitab, kaset-kaset rekaman, dan slogan-slogan mereka dengan berbagai kedustaan dan tuduhan.



Termasuk [bentuk] penentangan Al Haddad adalah ia telah menyusun kitab dalam mencela dan menjatuhkan Syaikh Al Albani. Ada sekitar 400 halaman ia tulis sendiri. Jika itu diterbitkan, kemungkinan bisa mencapai 1000 halaman. Dan Al Haddad memberi judul kitab itu dengan Al Khamis. Artinya, “Tentara yang kuat.” Ada bagian depannya, bagian belakangnya, bagian inti, sayap kanan dan sayap kiri.



Al Haddad mengaku-ngaku mengeluarkan tahdzir [peringatan] terhadap Ikhwanul Muslimin, Sayyid Quthb, pengikut-pengikut Juhaiman. Akan tetapi, kita belum pernah melihatnya menulis apapun tentang itu, meskipun sekedar kompilasi kecil yang tersusun. Terlebih lagi, yang semisalnya kitabnya, Al Khamis.



Tujuh

Pengikut-pengikut Al Haddad berlebih-lebihan terhadap Al Haddad dan menganggapnya sangat berilmu. Seperti itu mereka, agar bisa menjadi batu loncatan untuk menjatuhkan ulama-ulama kibar dan manhaj salaf. Juga, agar “syaikh” mereka itu dapat didudukkan pada tingkatan imam tanpa terbantahkan, sebagaimana diperbuat orang-orang semisal mereka dari para pengikut orang yang menderita gangguan jiwa yang akut. Mereka katakan kepada Fulan dan Fulan yang terhitung tinggi dalam tingkatan keilmuannya, “Hendaklah mereka bersimpuh di atas lutut-lutut mereka di hadapan Abu Abdillah Al Haddad dan Ummu Abdillah.”



Delapan

Mereka merendahkan ulama-ulama Salafi di Madinah dan yang lainnya. Mereka tuduh ulama-ulama tersebut dengan kedustaan. “Fulan pendusta.” “Fulan pendusta,” sambil mencitrakan diri sebagai orang-orang yang menyukai kejujuran dan perhatian terhadap kejujuran. Ketika dijelaskan kepada mereka kedustaan Al Haddad, dengan dalil-dalil dan bukti-bukti, Allah singkap hakekat keadaan mereka dan apa yang mereka sembunyikan dari kejahatan-kejahatan, sehingga tidaklah bertambah kecuali sikap fanatik dan ekstrem kepada Al Haddad.



Sembilan

Mereka betul-betul keblinger dalam melaknat, bersikap kaku dan meneror, sampai ke tingkat mengancam ikhwah Salafi dengan kekerasan. Bahkan, sampai ada yang memukul sebagian ikhwah Salafi.



Sepuluh

Memastikan laknat kepada seseorang, sampai sebagian mereka melaknat Abu Hanifah. Sebagian yang lain mengafirkannya. Lalu, datang Al Haddad dengan pendapat yang benar atau salah dan berkata, “Ini kezindikan.” Itu membuatnya semakin dirasakan sebagai takfiri yang menyembunyikan akidah takfir.[2]



Sebelas

Sombong dan keras kepala yang itu mengantarkan kepada penolakan terhadap al haq, seperti sebagian besar ahlul bid’ah yang ekstrem, sehingga setiap apa yang diutarakan ulama-ulama Madinah—dari itu penjelasan tentang penyimpangan-penyimpangan Al Haddad dari manhaj salaf—mereka tolak. Karena itu, mereka ini—dengan semua perbuatan mereka—termasuk dari kelompok-kelompok Islam yang paling jahat. Paling jelek akhlak dan ke-hizbi-annya.[3]



Dua Belas

Mereka adalah orang-orang yang paling banyak menyandarkan sesuatu kepada Imam Ahmad. Ketika diterangkan penyelisihan Al Haddad terhadap Imam Ahmad dalam mauqif-mauqif beliau kepada ahlul bid’ah, mereka mengingkari itu dan menuduh siapa saja yang menyandarkan itu kepada Imam Ahmad. Al Haddad Mengatakan, “Jika benar itu dari Imam Ahmad, sesungguhnya kita tidak taklid kepadanya. [Seakan-akan] mereka tidak ada kecintaan terhadap al haq dan tidak berusaha mencar al haq. Mereka hanya menyukai fitnah dan merobek-robek barisan Salafi.