Allah subhanahu wa ta’ala mengutus kepada setiap umat manusia seorang rasul. Dia mengutus Nabi Hud kepada kaum ‘Ad, Nabi Shalih kepada kaum Tsamud, Nabi Syu’aib kepada kaum Madyan, Nabi Musa dan Nabi Harun kepada Bani Israil. Begitu pula Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir kepada seluruh manusia hingga akhir zaman.
Setiap nabi memiliki syariat (tata cara dan aturan) yang berbeda. Akan tetapi, inti dakwah atau seruan mereka adalah satu: beribadah kepada Allah saja dan menjauhkan diri dari thagut. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thagut!” (QS. An Nahl: 36)
Lalu apa itu thagut? Berkata Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, “Thagut adalah segala sesuatu yang menyebabkan seorang hamba melampaui batasan Allah, baik berupa sesuatu yang disembah, dipanuti atau ditaati.” Agar lebih dipahami hakikat thagut, maka perlu diketahui apa saja atau siapa saja yang termasuk thagut.
Thagut jumlahnya banyak. Para pemuka thagut ada lima, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab.
Pertama, Iblis la’natullah yang menyeru manusia kepada kesyirikan (peribadahan kepada selain Allah), kesesatan, kemaksiatan, dan perpecahan. Iblis menghiasi hal-hal tersebut di mata manusia, sehingga terlihat indah. Ia menghiasi kesyirikan, sehingga manusia menganggapnya baik. Na’udzubillah. Iblis pun menjadikan ajaran tauhid terlihat buruk, sehingga kebanyakan manusia membencinya. Iblis menjadikan perbuatan berdoa kepada orang shaleh yang telah meninggal sebagai suatu kebaikan. Padahal Allah telah melarangnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَعْبُدَ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ لَمَّا جَاءَنِيَ الْبَيِّنَاتُ مِن رَّبِّي وَأُمِرْتُ أَنْ أُسْلِمَ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah (wahai Rasulullah), ‘Sesungguhnya aku dilarang untuk menyembah (sembahan) yang kalian seru (berdoa kepadanya) selain Allah setelah datang kepadaku keterengan-keterangan yang jelas dari Rabbku, dan aku diperintahkan supaya tunduk patuh kepada Rabb semesta alam’.” (QS. Al Mu’min: 66)
Perbuatan berdoa kepada orang saleh yang telah meninggal tersebut telah dilakukan oleh kaum terdahulu dan sangat mungkin terjadi pada umat ini. Dahulu, para pembesar kaum Nuh yang menentang dakwahnya memerintahkan kaumnya untuk tetap berdoa kepada orang-orang saleh. Orang-orang saleh tersebut mereka jadikan sebagai perantara antara diri mereka dengan Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
“Dan mereka (para pembesar kaum) berkata, ‘Jangan sekali-kali kalian meninggalkan sesembahan-sesembahan kalian dan jangan pula sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa, Yaguts, Ya’uq, dan Nasr.” (QS. Nuh: 23)
Jadi, doa yang Allah subhanahu wa ta’ala senangi adalah doa yang tidak melalui perantara. Allah subhanahu wa ta’ala akan mendengar doa orang-orang yang langsung berdoa kepadaNya sekalipun orang tersebut memiliki banyak dosa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu.” (QS. Al Baqarah: 186)
Adapun orang yang berdoa kepada selain Allah meskipun yang ia tuju sebenarnya adalah Allah, maka Dia tidak meridhai hal tersebut dan murka kepadanya, sebagaimana larangan Allah dalam Surat Al Mu’min yang telah disebutkan.
Kedua, orang yang diibadahi dalam keadaan dirinya rela. Adapun Nabi Isa, beliau adalah seorang nabi dan rasul. Beliau bukanlah thagut meskipun disembah, karena beliau tidak rela dirinya disembah.
Ketiga, orang yang menyeru manusia untuk mengibadahi dirinya. Contohnya Fir’aun. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengutip perkataannya,
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرِي
“Dan Firaun berkata, ‘Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui bagi kalian sesembahan selain Aku’.” (QS. Al Qashas: 38)
Keempat, orang yang mengaku tahu perkara gaib, karena pengetahun terhadap perkara gaib hanya hak Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menegaskan hal tersebut,
قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ
“Katakanlah, ‘Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara gaib kecuali Allah.” (QS. An Naml: 65)
Karena itu, jika ada seorang yang mengaku mengetahui perkara gaib atau meyakini ada seseorang yang mengetahui perkara gaib, maka ia jatuh pada kufur besar, keluar dari agama Islam. Hal ini pun dikuatkan oleh sabda nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Siapa saja yang mendatangi dukun atau paranormal, atau mendatangi istrinya dalam keadan haid, atau mendatangi istrinya pada duburnya, maka is telah kufur terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad (Rasulullah).” (HR. Abu Dawud No. 3904, disahihkan Syaikh Al Albani)
Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad hafizhahullahu ta’ala,
“Jika seseorang berkeyakinan bahwa dukun mengetahui perkara gaib dan membenarkan perkataannya maka ia kafir. Wal’iyadzubillah. Sebab, ilmu gaib secara mutlak khusus bagi Allah subhanahu wa ta’ala saja. Adapun perbuatan mendatangi istri dalam keadan haid, atau mendatangi istri pada duburnya termasuk kemaksiatan yang besar. Jika seseorang menghalalkannya maka ia kafir.”
Jadi, dukun atau paranormal tidak mengetahui perkara gaib dan tidak boleh dibenarkan. Siapa saja yang tetap membenarkannya, maka ia menyelisihi hukum Islam.
Adapun dukun atau paranormal kalau pun ia benar, itu merupakan sedikit kabar langit yang dicuri oleh setan yang kemudian dicampuri dengan ratusan kedustaan. Jika seseorang mendatanginya tanpa membenarkan ucapannya, hanya coba-coba misalnya, maka shalatnya tidak diterima selama 40 hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Siapa saja mendatangi dukun atau paranormal, kemudian bertanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama 40 hari.” (HR. Muslim No. 2230)
Kelima, orang yang berhukum dengan selain hukum yang Allah tetapkan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah: 44)
Ya Allah, sesungguhnya kami memohon ampunan dan keselamatan kepadaMu dalam agama kami, dunia kami, keluarga dan harta kami. Amiin.